Malang – Pada Hari Jumat, 14 Juni 2024 lalu tim pengabdian masyarakat fakultas Hukum yang digawangi oleh Dr. Nur Chanifah, M.Pd.I dan tim mengadakan penyuluhan pencegahan kekerasan seksual bagi santri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi. Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 100 santri putri dari berbagai daerah. Selain “nyantri”, mereka juga mengenyam Pendidikan formal setingkat SMA dan Perguruan Tinggi.
Nur Chanifah, dalam sambutannya, menjelaskan bahwa yang melatarbelakangi kegiatan tersebut di antaranya adalah maraknya kasus kekerasan seksual di pondok pesantren. Padahal sejatinya pesantren merupakan salah satu institusi Pendidikan yang mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu mencetak akhlak santri. Banyak tokoh-tokoh berpengaruh di negeri ini yang lahir dari pesantren. Sebut saja Presiden Republik Indonesia keempat, yaitu KH Abdurrahman Wachid, yang merupakan produk pesantren. Pengaruhnya tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga Internasional.
Sayangnya, peran yang sangat mulia dari pesantren tersebut telah dinodai oleh oknum atau pelaku Tindakan kekerasan seksual pada para santri. menurut Komnas Perempuan ada 3.303 kasus kekerasan berbasis gender di tahun 2023. Lembaga layanan melaporkan 6.305 kasus, dan Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat jumlah yang jauh lebih tinggi, yaitu 279.503 kasus. Dengan demikian, kekerasan seksual berbasis gender sudah sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu, pesantren harus segera mengambil sikap untuk melakukan tindakan pencegahan. Para santri perlu dibekali dengan literasi fiqih yang berkeadilan gender dalam rangka pencegahan kekerasan seksual. Untuk itu, maka tim pengabdian masyarakat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menginisiasi untuk membantu pesantren dalam merumuskan fiqih yang berkeadilan gender agar dapat dijadikan sebagai rujukan santri.
Dalam kegiatan penyuluhan dijelaskan bahwa dalam memahami fiqih yang berkeadilan Gender harus berpedoman pada al-Quran, sebagai sumber utama dan pertama dalam Islam. Islam telah menjelaskan bagaimana posisi laki-laki dan perempuan sama, hanya tingkat ketaqwaannya saja yang membedakan. sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13. Dalam surat al-Taubah ayat 71 dan Surat al-Nisa’ ayat 124 juga dijelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan atau peran yang sama dalam beramal sholeh amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam kaitannya dengan kasus kekerasan seksual, maka perempuan harus berani melawan kemaksiatan dan kemunkaran. Perempuan bukanlah makhluk tertindas yang dapat diberlakukan semena-mena. Perempuan harus berani menyuarakan kebenaran, agar para oknum atau pelaku kekerasan seksual tidak terus mencari mangsanya. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan ketika santri mengalami kekerasan seksual, di antaranya adalah: (1) lawan dengan cara fisik sebisa mungkin atau teriak untuk meminta bantuan, (2) jangan hilangkan barang bukti, karena kita tidak bisa melapor tanpa bukti, (3) segera laporkan ke pihak berwenang, jika belum bisa karena beban psikologis, maka ceritakan apa yang dialami kepada orang terdekat yang bisa dipercaya.
Selain itu, pesantren juga seharusnya sudah mulai membuka diri untuk membuka layanan atau unit pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual, agar santri lebih mudah melapor atas apa yang dialami, sebab di mayoritas pesantren, santri tidak diperkenankan membawa atau menggunakan ponsel. Tentu mereka akan kesulitan mengadu, jika pesantren tidak mempunyai layanan khusus untuk aduan kekerasan seksual atau perundungan. (Humas FH)