Malang – Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menuntut agar revisi undang-undang (UU) Polri ditunda. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Kompartemen Hukum di FH UB, Solehuddin, S.H. M.H., saat Focus Group Discussion (FGD) bersama Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) UB di Grand Mercure pada Kamis (25/7/2024).
Solehuddin menyebut bahwa revisi undang-undang Polri berdampak terhadap hukum acara pidana. FGD ini sebagai bentuk keluh kesah dari Persada dan Kompartemen Hukum Pidana UB Persada.
“Kita dari akademis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bersama Persada UB mengeluarkan maklumat untuk tunda revisi undang-undang Polri ini. Kedua, tuntaskan kitab undang-undang hukum acara pidana prosedur nya undang-undang pokoknya. Ketiga revisi undang-undang dibahas secara cermat dan efektif dan transparan,” tegas Solehuddin.

Dosen FH UB ini menjelaskan, saat ini undang-undang Polri sedang berjalan di dewan perwakilan rakyat. Menurutnya, hal itu sangat terburu-buru dan layak dipertanyakan.
“Kita coba cermati memang perlu adanya pencermatan begitu. Sekarang kita di selaku akademisi Fakultas Hukum ini yang perlu kita cermati adalah prosedur penegakan hukum ketika berbicara masalah undang-undang Polri, kita harus berbicara aturan main,” jelasnya.
Menurut Solehuddin, ketentuan terkait masalah penegakan hukum harus ditinjau ulang karena hukum acaranya terlebih dahulu bukan undang-undang sektoral. Hal itu ditinjau sudah sesuai atau perlu direvisi.
“Ini seharusnya fokus di hukum acara pidananya dahulu. Pasca UU 1 tahun 2023 tentang KUHP nasional itu penting melakukan perubahan terhadap kitab undang undang hukum acara pidana ini,” jelasnya.
Menurutnya pemerintah, dalam konteks penegakan hukum penegakan hukum pidana adalah hukum acara pidananya. Namun, dari sisi akademisi terlihat bahwa pemerintah terburu-buru untuk melakukan revisi undang-undang Polri.
“Ketika kita coba lihat ada memang beberapa potensi dalam rumusan RUU yang sudah kita dapatkan kemarin melalui naskah akademik dan RUUnya ada beberapa kejanggalan. Semisal ada beberapa asas dalam pembentukan peraturan perundangan tidak berpedoman,” jelasnya.
Terdapat asas kepastian, keadilan, kemanfaatan,. Menurut Solehuddin tujuan hukum itu kan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Namun dalam kasus ini hanya mencakup kepastiaan saja, bahkan bisa saja mengabaikan keadilan.
“Selama ini dalam prakteknya banyak Polri banyak dalam konteks penegakan hukum di tingkat kepolisian di tingkat penyidikan itu banyak pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia di situ. Semisal contoh, kasus Pegi Setiawan kemarin, bukan tersangkanya ini sangat memprihatinkan sekali,” imbuhnya.
Dengan revisi ini, lanjut dosen pidana ini, Polisi bisa melakukan penghentian penyelidikan dan penyidikan sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum terhadap korban keadilan. Hal itu menjadi subjektivitas dari Polri untuk melakukan penghentian penyelidikan dan penyidikan di situ.
Ada banyak lagi beberapa aturan yang memang janggal. Semisal pengawasan, itu masih kurang bagaimana Pengawasan di sektor internal kepolisian dari kompolnas itu masih belum diatur dalam Polisi,” ujarnya.
Pada akhir kesempatan, Solehuddin menyebut hasil FGD dibuat dalam bentuk policy brief. Masukan dari para audiens dan peserta dirumuskan dalam kebijakan. “Nanti kita sampaikan kepada dewan pada NGO bahwa ini temuan kita dalam konteks secara substansi revisi undang-undang Polri. Kita sebarkan juga ke para pemangku kepentingan dalam konteks ini,” tutupnya.

Dalam forum ini hadir akademisi, praktisi, NGO, dan juga pakar hukum. Ahli Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB), Dr Fachrizal Afandi menyebut semangat revisi Undang-Undang (UU) Polri pada 2024 ini sama dengan revisi UU KPK yang dilakukan pada 2019. Hal ini karena beberapa pola yang dilakukan untuk Revisi UU ini sangat mirip atau bahkan sama.
Fachrizal menjelaskan Pasal 30 UUD 1945 memandatkan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Adanya kewenangan penegakan hukum, Polri juga tunduk pada kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur Pasal 24 UUD 1945.
“Ini agak traumatik. Dulu kita pernah punya pengalaman buruk yang sama pada tahun 2019, soal Revisi UU KPK. Tiba-tiba ketika mau ke jabatan kedua presiden, ada UU KPK,” ucapnya.
Pria yang juga sebagai Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) UB ini berpendapat, apabila proses pengajuan revisi UU ini dilakukan, biasa ada beberapa hal yang problematis.
“Kalau cepat-cepat begini biasanya kita baca naskah akademiknya agak ajaib. Kemudian pengaturan-pengaturanyanya biasanya problematis. Mulai dari UU Cipta kerja, UU Polri, UU minerba. Model legislasi kita sekarang ini kalau yang cepat-cepat biasanya perlu kita kawal,” tegasnya.
Kesimpulannya, tugas Polri tak sekedar menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi juga tunduk pada kekuasaan kehakiman, di mana penegakan hukum harus adil dan diawasi kekuasaan kehakiman.
“Misalnya ada kasus salah tangkap, masyarakat komplain kemana? Negara beradab komplainnya ke pengadilan. Saluran itu di sini ada tapi lemah, hampir tak bisa digunakan karena desain KUHAP tak kuat soal pengawasan,” paparnya.
Naskah akademik RUU Polri menurut pengamatan Fachrizal hanya memuat asas kepastian hukum, tidak ada asas keadilan dan kemanfaatan. Sehingga sifat RUU Polri sangat legalistik, sebab naskah akademik tak membahas soal keadilan, hanya sebatas tugas kepolisian. Mengabaikan pengawasan yang seharusnya dilakukan melalui mekanisme pengadilan.
“Penegakan hukum yang dilakukan Polri harus menjunjung tinggi asas proses hukum yang adil (due process of law). (Rma/Humas FH)